Bagaimana seumpama kita tukar pahala dengan uang?

Bagaimana jika kita sebagai manusia berfikir bahwa pahala itu dianalogikan sebagai uang atau derajat? Oke, diskusi kita dimulai dari sini.
Diera globalisasi ini, masyarakat indonesia seringkali mlakukan hal yang tidak masuk akal, mempersulit hal yang wajar dan memperwajar hal yang sulit. Apabila tes SIM dilakukan dua kali tes, yang pertama dikepolisian dengan tes jalan menggunakan motor dan pilihan jalan yang ada, dan yang kedua dilakukan dijalan umum. Dengan anggaran yang sama dan ketentuan apabila gagal maka mengulang di hari selanjutnya. Itu adalah contoh masalah bahwa mempersulit hal wajar.
Logikanya, kenapa tidak langsung tes dijalan? Kenapa harus melalui sistematika dengan tes dikantor polisi terlebih dahulu menggunakan motor bebek? Dan yang paling penting adalah kenapa sistematika harus serumit itu? Kita kembali kekajian awal bahwa Al-qur’an sudah mengajarkan kita idealis sejak awal. Seharusnya didalam firmanNya sudah dijelaskan bahwa tuhan tidak mungkin menguji hambanya tidak sesuai dengan kemampuannya. Berarti, seharusnya pelaku tes SIM atau yang bersangkutan bisa dan sanggup melakukan dua tes tersebut. Dan di firman selanjutnya bahwasanya Tuhan tidak akan merubah nasib hambanya kecuali hambanya merubah nasibnya sendiri. Naskah tekstual ini secara kontekstual manusia secara umumnya akan menganggap bahwa firman ini akan berguna dalam kondisi apapun, namun faktanya?
Sistematika yang diperumit manusianya sendiri sehingga makna dari ayat yang pertama bertolak belakang, ketika Tuhan mempermudah makhluknya dengan petunjuk yang sudah di nash, tapi mengapa manusia yang seharusnya melanjutkan langkah tuhan ini malah mempersulit keadaan? Mungkin bisa dikuatkan dengan ayat kedua bahwa setiap makhluk wajib merubah jalan hidupnya sendiri, namun kenapa ketika tidak bisa merubah kesempatan yang diberikan manusia, solusinya tidak semudah tuhan memberi kesempatan hambanya untuk bertobat berkali-kali?
Mungkin bagi anda yang paham tentang kajian islam maka bisa menjawab semua ini dengan makna eksplisit dari sebuah dalil. Namun mari sejenak kita taruh dogma-dogma istimewa tersebut dan mengedepankan nalar sehingga kita berfikir realistis? Anggap kita ini aliran qodariyah yang mengutamakan dalil dan mengedepankan logika, intinya sama-sama digunakan untuk berfikir?
Itu hanya hal spele mengenai tes SIM yang dikaitkan dengan ayat Al-qur’an, namun bagaimana dengan hal lain terkait itu, seperti halnya politisi indonesia yang kebanyakan muslim, Kementrian agama? Pernah terjerat kasus suap? Pendiri salah satu organisasi masyarakat muslim pernah terlibat kasus penistaan beragama? Musisi-musisi muslim terjerumus didalam dunia perpolitikan yang berujung masalah hukum dipengadilan? Dari hal sesepele itu bisa sedikit kita simpulkan bahwa semakin pintar orang memaknai naskah semesta maka semakin banyak pula yang melakukan pelanggaran didalamnya?
Kita kaitkan lagi dengan pesantren? Pada dasarnya mindset kebanyakan manusia beranggapan bahwa semakin banyak santri yang mondok dipondok pesantren itu maka semakin banyak pula penghasilan yang didapat, berarti terbukti bahwa pondok pesantren tersebut memang berkualitas secara logika, namun tak jarang orang berfikiran semua yang ada dipondok pesantren yang fasilitasnya memadai berarti harus disertai dengan administrasi yang mahal, pada akhirnya kesan orang tua yang akan memondokkan anaknya melihat keadaan yang seperti itu mengakibatkan menurunkan derajat pesantren secara kualitas. Jelas, yang dipikir orang tua semacam itu adalah provit yang didapat pesantren? Mereka tidak pernah berfikir bahwa membiayai tenaga cerdas untuk menjadi fasilitator santri itu mahal, biaya makan yang semakin mahal dan tidak jelas harganya, belum juga fasilitas penunjang yang ada diasrama.
Oke, selesai disana. Yang dipikir pengasuh adalah semakin banyak santri semakin banyak provit, semakin banyak provit maka kebutuhan terpenuhi, semakin kebutuhan terpenuhi maka santri berkualitas, semakin santri berkualitas maka nama pondok pesantren akan terlihat bagus dikalangan semua orang. Betul begitu? Belum memikirkan hal lain semacam tingkat banyaknya santri berbanding lurus dengan tingkat kriminalitas santri, betul demikian? Namun yang dipikir orang tua adalah pondok pesantren yang besar dan santrinya banyak pasti biayanya mahal, dan biaya mahal pasti tidak semua orang masuk kesana, pasti didalam administrasi ada seleksi didalamnya, setelah seleksi pasti yang terpilih yang berkualitas saja. Dari kedua pemikiran tersebut jelas semuanya tidak mungkin sinkron hanya karena sudut pandang berbeda dan urusan dunia yang menyangkut keuangan.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa adanya sismbiosis mutualisme itu membuat semua menjadi mudah. Contoh, ada pesantren besar dan biaya masuknya mahal karena ditunjang fasilitas, kemudian orang tua berfikir ‘anak saya nanti saya pondokkan disana, nanti masalah uang bisa saya carikan, toh seumpama anak saya nanti sukses rezeki itu bakal dikembalikan tuhan melalui anak saya’. Sampai pada akhirnya antara kedua belah pihak berani berusaha, berani rugi dan berani berhasil dengan perjuangan yang sama-sama dihargai. Namun faktanya?
Kita kembali ke pembahasan awal bahwa Al-qur’an mengajari kita idealis sejak awal, mari kita pikir baik-baik. Masalah dari kedua belah pihak hanya satu yakni uang dan mereka berdua tidak pernah memperhitungkan pahala yang nominalnya sangat jauh lebih dari uang. Kita kembangkan lagi, sampai pada akhirnya gara-gara perkara uang orang banyak yang pesimis, tidak ikhlas, mudah iri, dan gampang menuduh, serta menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Wal hasil, terjadi korupsi, banyak yang melakukan nepotisme dan kolusi menyebar disetiap pemikiran masayarakat awam pada umumnya.
Seumpama kita menggunakan nalar 99 sifat Allah salah satunya  yakni sabar, percaya, baik, dan juga amanah. Pasti semua berjalan dengan baik. Semisal, pengasuh memberikan edaran pembayaran pondok pesantren dengan nominal yang sudah rinci, memberi iming-iming kualitas pondok yang ditunjang dengan tenaga pengajar profesional. Kemudian orang tua mau berusaha demi masa depan anaknya dengan usaha yang ada, ikhlas untuk memondokkan anaknya. atau istilah lainnya menginvestasikan masa depan. Seperti acuan pada muamalah adalah sikap saling antarodhin sehingga mewujudkan etos kerja yang saling percaya dan berujung maksimal dengan kepercayaan yang ada.

Oke kita konklusikan bersama bahwa karena uang orang jadi pesimis, karena pesimis orang tidak percaya pahala, karena tidak percaya pahala orang jadi kufur, karena kufur orang jadi jarang membaca al-qur’an, karena jarang membaca al-qur’an orang jadi sering ngawur, karena ngawur orang jadi salah kaprah, karena salah kaprah orang jarang berfikir logis, karena jarang berfikir logis pada kematiannya mereka tidak bisa tenang, berarti gara-gara uang orang tidak bisa tenang. Oleh sebab itu diskusi kita kali ini dinamai Bagaimana jika pahala kita tukar dengan uang? Supaya orang tahu bahwa uang bukan jalan utama meraih ridho ilahi. Akhirulkalam. Salam santri nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar