Dikalangan
masyarakat heterogen seperti indonesia ini, siapa yang tidak akan bahagia
mendengar kata santri. Karena mungkin doktrin yang sudah menancap pada telinga
dan pemikiran masyarakat indonesia jelas, bahwa santri adalah manusia yang pada
hakikatnya dipilih sebagai makhluk yang mampu mengaplikasikan ilmunya melalui
agama dan santun dalam perilakunya untuk mengaplikasikan keilmuan duniawinya
dan mampu mengarahkan masyarakat kepada yang lebih baik tentunya.
Selain
kata santri, yang membuat santri semakin erat dengan sebuah kebaikan adalah
sosok. Siapa beliau? Adalah kyai yang menjadikan pribadi santri menjadi
sedemikian rupa. Mengapa kyai selalu di iya-iyakan terkait masalah
santri dan menjadi tolak ukur disetiap langkah gerak santri? Fakta mengenai
kyai bmungkin bisa digambarkan sedikit.
Yang
pertama jelas, kyai juga menjadi salah satu sosok yang lahir serta ikut serta
memerdekaan kemerdekaan indonesia secara keagamaan. kedua, kyai juga seseorang
yang diakui secara mufakat bahwa dia memang memiliki kemampuan lebih dalam
bidang agama terutama. Dan keilmuan yang sangat adil dalam hal yang lainnya.
Dan fakta yang paling nyata adalah kyai mampu berbaur dengan siapapun mulai
dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Sebab kembali kepada fakta yang
pertama bahwa dia adalah sosok yang pandai dalam segi keagamaan.
Mengapa
demikian? Karena didalam agama muatan-muatan umum mulai dari akhlak sampai
hukum semua sudah ditata rapi didalam kitab suci yakni Al-qur’anul karim.
Namun, itu hanya gambaran dulu ketika semua pengertian yang tertera diatas
masih menjadi doktrin masyarakat yang mengakui bahwa adanya santri dan kyai
adalah sebuah komposisi sempurna untuk membangun kepribadian seseorang melalui
jalan agama dan pesantren.
Namun,
faktanya sekarang sudah berbeda, masalahnya santri sudah terkontaminasi
budaya-budaya yang sangat jauh dari sebuah barokah, dan solusinya masih belum
diketemukan.
Tertanggal
abad ke 21, banyak sekali formula reformasi yang dilakukan negara indonesia
mulai dari pendidikan, ekonomi, amandemen hukum, dan lain sebagainya. Itu semua
berfungsi guna menyelaraskan sebuah kepentingan publik dengan alibi lebih baik
daripada sebelumnya. Contoh saja, dalam bidang keagamaan sudah banyak
muballigh-muballigh dan orang-orang yang hafal al-qur’an menjadi pesohor
disetiap sudut dipenjuru indonesia dengan keilmuan yang mereka punya. Bidang
pendidikan juga semisal, perubahan metode mulai dari metode 90-an sampai KTSP,
KBK, sampai pada K13 yang menjadi trendsetter pendidikan era kini. Ekonomi
juga semisal, dahulu kala permasalahan bank di indonesia masih belum sekompleks
sekarang, adanya saham gelap, pencucian uang, BPA/BPK, dan lain sebagainya
serta sistematika keuangan lain yang menjadi rumit. Sampai pada ahirnya
masyarakat menyimpulkan untuk menggunakan ekonomi kreatif demi kemaslahatan
ekonomi mereka masing-masing, mulai dari masalah pertanian, jual beli,
peternakan,dan masih banyak lagi.
Kita
kembali pada fokus santri, banyaknya perkembangan yang masuk didalam negeri ini
membuat mereka dilema dan bingung mencari arah dalam pembelajaran kesantrian.
Mulai dari media, lingkungan sampai pada metode mencerdaskan mereka. Faktanya
banyak sekali media yang tidak berperan positif dikalangan mereka, mulai dari
sosial media seperti facebook, twitter, instagram, path, line, watsap dan masih
banyak lagi. Membuat santri semakin dimanjakan dengan fasilitas yang beralibi ‘ini
lebh memudahkan mereka’. Padahal tidak sama skali.
Kemalasan
semakin menjadi-jadi. Memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan masing-masing.
Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa budaya santri yang dahulu tidak
dibudayakan lagi sampai sekarang? Seperti, andap ashor kepada kyai, rajin
mengaji dengan khas kitab kuningnya, dan juga berperangai indah dalam
berpakaian yang berbeda daripada pakaian masyarakat pada biasanya. Sehingga
sudut pandang kita bisa saja berubah menjadi, apakah memang kyai sekarang tidak
mampu untuk menirakati santrinya? Atau orang tuanya yang terlalu takut
mengajari anak-anaknya mandiri?
Hal
ini dijelaskan juga dalam buku yang ditulis oleh sigmund freud (pakar
psikoanalisis), didalam bukunya menjelaskan bahwa manusia berkembang itu sesuai
dengan alam bawah sadarnya, sebelumnya keterangan menjelaskan bahwa manusia
lahir terdiri dari tiga ruang yakni sadar, prasadar dan alam bawah sadar,
sehingga sigmun freud menjelaskan dalam sebuah penelitian yang masih
kontroversi sampai sekarang bahwa manusia itu memiliki fantasi dan analisis
mimpi tersendiri.
Fokus
dan ketersambungan dengan santri adalah, setiap santri mempunyai analisis dan
fantasi mimpi tersendiri, yang seharusnya sudah didoktrin sejak awal mereka
menjadi santri dan mengenyam pendidikan di pesantren. ini yang harusnya
dijadikan tolak ukur bahwa santri seharusnya tidak kehilangan jatidiri sebagai
seorang pelajar dan terpelajar. Santri juga harusnya lebih pandai daripada
masyarakat yang tidak menjadi santri dan mengenyam pendidikan pesantren.
Berarti
jatidiri santri saat ini sudah hilang? Atau sengaja disembunyikan demi
kepentingan pendidikan yang tidak masuk akal? Padahal didalam kaidah islam juga
dijelaskan ‘Al-muhafadhotu ‘ala qodimissholih wal ahdu biljadidil ashlah’.
Yang berarti melestarikan tradisi, mengembangkan inovasi. Akan tetapi kenapa
semboyan itu sekarang menjadi menghilangkan tradisi dan menyalahgunakan
inovasi? What the problems in education indonesian countries?
Kita
bedakan dengan budaya santri jaman dahulu, setiap kali jalan selalu menunduk
ketika melihat pengasuh atau kyai yang sedang ada diantara mereka, sangat bisa
mempelajari nahwu shorof, paham dalam memaknai kitab, dan asing dengan
bersentuhan dengan lawan jenis. Serta banyak lagi hal lain yang dahulu melekat
dikehidupan santri. Terlebih dalam bidang agama dan sopan santun.
Dari sini diskusi ini bisa kita simpulkan perubahan
terjadi karena petinggi-petinggi tidak pernah konsisten (read:istiqomah) dalam
menjalankan sebuah amanah yang sudah diterapkan sebelumnya, terlalu
mengkontaminasi kehidupan yang baru dan menghapuskan setiap pelajaran lama yang
sudah melekat sebelumnya. Wallahu a’lam kita sendiri yang mampu introspeksi dan
meruahnya. Salam santri nusantra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar