Sajak Rindu Pesantren

Hari ini masih tetap sama. Dibungkus indah ribuan senja aku bersembunyi dibalik indahnya. Menikmati sampai entah nanti diri ini terkubur sepi karena sebuah fitnah atau barokah. Karena sejatinya hidup sudah tertuang dikitab washiyatul mustofa. oleh sebab itu aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.
Sementara kamu dan seisi rumah ini adalah alasan kenapa aku tetap bertahan dikota pesakitan ini. Dimana semua orang hanya menangis perihal rindu, seorang hanya lari perihal ingin bertemu sampai ada yang pulang dan tidak kembali perihal sepi. Itu semuanya sudah tergambar lengkap dikehidupan ini. Dirumah mereka bisa menikmati satu kamar sendiri, sementara disini kotak ruang sepersekian meter mereka harus menikmatinya bersama-sama bahkan tidak akan ada ruang untuk menyendiri.
Sedih bukan? Tidak sama sekali, dimana semua keluh dan kesah sudah tertumpah ruah, banyak sahabat yang lainnya yang menjunjung tinggi didepan mata sampai kita paham apa arti bersama. Namun banyak yang menyikapi itu sebelah mata, bahkan mereka menganggap ini penjara.- bukankah ini semua tentang pencarian jati diri dimana kita berani dilepas disebuah rumah konglomerat yang tuan rumahnya sendiri masih mengaji. Apakah kita tidak ingin ikut serta atau membantu mengkhatamkan kitabnya?
Lalu, kenapa kamu masih saja ragu menyoal rindu disini. kembalilah sahabat. Disini banyak sekali rindu yang dapat kau urai. Kau juga bisa menikmati senja disetiap sudut lantai atas. Apakah kau tahu bahagianya disini meskipun banyak fitnah dari setan yang berupa manusia berkopyah. Ah, tapi itu kalah serunya dengan buaian hangat seorang sahabat dengan membawa pena dan kitab. Sangat kalah jauh. Sekali lagi apa kau tidak menyesal ntuk berpaling?
Baru ingat, sekarang sudah buka puasa. Pasti banyak kenangan kan menyoal buka puasa disini, tentunya tidak kalah enak dengan masakan ibu kesayanganmu dirumah, tapi sensasi harmoni yang didapat apakah tetap sama? Rindu kali ini berbentuk hujan asal kau tahu? Dia jatuh basah dan membasahi semua tanah meskipun yang basah Cuma tanah tapi dikasat mata sudah menyerupai air. Sangat deras dirasa. Sudah itu saja.
Mungkin sajak rindu ini hanya semacam bualan yang tidak penting, namun semua ini mewakili indah yang pernah aku dan kamu rasakan sehingga mampu menjadi kita. semoga abadi – Rahayu.

(jombang 4 Juni 2017)

Bukan sekedar Al-kitab

Masih disetiap senja yang menemani dengan secangkir teh panas serta senyuman ceria ribuan manusia yang berkumpul dalam satu wadah. Dikepala lima dia bertengger tegak dengan ribuan doa yang sudah terpanjat perihal sukses dan masa depan yang cerah nan abadi. Buaian hilal yang sudah ditentukan pada hari ketiga inilah naskah mulai dibangun. Dia yang tak henti-hentinya, mulai dari mata yang masih sehat sampai memakai pembantu kaca yang ditempelkan dikedua bola matanya, tetap setia dengan pegangan kuningnya. Kuningnya bukan sembarang kuning. Disana sudah menyoal ribuan masalah beserta solusinya yang siap dikaji disetiap detik dalam kehidupannya.
Yaaaah, kita biasa menyebutnya kitab kuning. Mungkin sebagian besar dari kita sudah tahu apa yang dimaksudkan dengan kitab kuning. Namun, isi yang tersirat melalui surat didalamnya apakah ada yang memahami sepenuhnya?
Ini lebih dari perihal kamu yang setiap hari berusaha menggerogoti isi hati yang sejatinya keras ini. Betul sekali, kertas balutan warna dasar kuning ini lebih tajam untuk menggoyahkan hati yang kian kalut. Yang disetiap hujan merindukan kenyamanan, yang disetiap kemarau merindukan kedamaian. Namun apalah daya hanya bisa menerima kenyataan serta merubahnya menjadi lebih indah.
Kertas ini juga yang biasanya menceritakan tentang mudahnya menikmati hidup. Tentang bagaimna kehidupan ini sebenarnya bisa digapai dengan dua tangan dan dua kaki saja. Namun dipersulit oleh manusia yang seakan butuh kursi sebagai tahta dan menyalahgunakan aturan yang sudah diterapkan didalam al-kitabNya.
Kamu atau kita, semua sama. Apakah tidak ada sedikit memori perihal balutan bolpoint hitech menggores lembut seraya suara kyai meneriakkan maknanya dengan lantang serta maksud didalam kertas terebut dengan khidmat. Bukan menyoal kenangan yang lalu atau bahkan bayangan semu yang membuatmu membeku. Ini hanya sebuah rasa yang sudah terpatri didalam diri. Karena mengaji kitab kuning ini ibarat kita memandang langit. Birunya tetap sama tapi ketika kita memahami sepenuhnya maka akan ada subhanallah disetiap pandangannya.
Semesta, maukah kau untuk mengingatkan mereka kembali? Mereka yang dulu pernah menyentuhku bahkan pernah memahamiku meskipun sesaat? Sehingga mereka semua paham bahwa akulah yang sejatinya dipelajari, bukan rentetan bualan-bualan yang dipoles suci sampai saat ini mereka terdholimi? Dan berpangku pada harap, angin membawa kita pada perdamaian abadi melebihi kitab kuning yang mempersatukan kita sebelum manusia yang lain merusak saat ini. Amiiiiin.
Ini adalah doa laknat pembuka ramadhan

(jombang 28 mei 2017)