Menjadi pengurus kehidupan

Orang-orang pada umumnya tidak pernah paham apa yang sebenarnya dilakukan semesta untuk menghibur dirinya, terkadang menyulap cinta menjadi benci, menjadikan hal yang nista menjadi manis sekalipun. Dan itu juga yang kami alami sekarang, kami bahkan tidak paham apa yang semesta perbuat sehingga membuat kami sedewasa ini bukan? Apakah kau paham tuan?
Banyak yang menyangka bersandar disebelahmu adalah hal yang paling indah, menjadi abdi dikehidupanmu adalah hal yang paling bermakna. Satu yang kutahu, orang-orang yang berbicara lantang seperti itu mungkin hanya bercanda dan bahkan bertanya-tanya. Nyatanya, kami mendapatkan perlakuan lebih istimewa dari itu. Menjadi martirmu dan memperjuangkan hak kami yang sudah kamu injak-injak adalah makanan kami sehari-hari, bertingkah menjadi pesuruhmu yang santun ketika yang lain sedang merenung dan lalai akan tanggung jawabnya, itu juga jadi santapan malam hari kami.
Apakah sempat terfikir dibenakmu bahwa kami mengeluh? Sama sekali tidak tuan. Kami yakin ini adalah tanggung jawab pengurus yang sedang kami sandang. Ini adalah amanah mulia dari yang mulia untuk sebuah kemuliaan yang ditunggu-tunggu datangnya. Apakah kau pernah menyadari secinta ini kami kepadamu? Sesayang ini kami kepadamu? Seperhatian ini kami kepadamu? Tanpa harus kau ludahkan isu-isu tentang ketuhanan dan kecintaan tuhan dengan kami melalui ayat-ayatmu. Kami sudah cukup paham akan itu tuan!
Sebab, perihal cinta kami sudah mendapatkan kasih dan sayang dari orang tua kami, kemudian sengaja orang tua kami menitipkan cinta kepadamu dengan cara membawa kami menghadapmu dan menjadi abdimu, walau pada akhirnya dicampakkanmu adalah bagian terpenting hidup kami. Kami tahu bahwa tugas semesta adalah membuat hal yang tidak mungkin menjadi kemungkinan yang mungkin dipaksakan seperti tabiatmu yang mungkin juga tidak pernah disadari kebenarannya. Cinta juga yang membuat rasa kenyang menjadi lapar kembali. Sebab ialah yang menumbuhkan cerita perihal sakit. Cinta pula yang menjadikan seniman menjadi giat berlatih, sebab cinta juga yang menumbuhkan rasa tertatih.
Tapi kau tahu kan tuan? Kami melakukan itu semua demi cinta kami kepadamu, ini sebenarnya hal yang mustahil dilakukan orang-orang pada umumnya. Kami sadar bahwa kau melatih kami memulai hal tidak mungkin menjadi hal yang selalu dimungkinkan, menjadi budakmu sampai kehidupan berakhir, misalnya. Ah sepertinya bukan tugas kami untuk membuat kritik perihal kehidupanmu, kami hanya pengurus yang diberi amanah untuk bekerja, diberi amanah untuk mencinta, dan diberi amanah untuk mengasihi sesama, hanya saja kami beruntung tidak disumpah untuk mendera manusia-manusia yang tidak bersalah seperti apa yang sudah kau lakukan kepada kami, tapi kami yakin apa yang kau lakukan semata-mata demi cinta, hanya demi cinta. Kami paham betul itu.
Terima kasih tuan, telah mengajari kami menjadi pengurus kehidupan, setidaknya sepulang kami dari pengabdian kepadamu, kami paham perihal menyayangi seseorang juga perlu untuk memberi dia pelajaran tentang rasanya disakiti tapi tidak meninggalkan perih, disayat perlahan agar tidak menimbulkan luka bakar yang mendalam, sehingga pada fase kehidupan selanjutnya, kami sudah siap sakit dan jatuh untuk menjadi pengurus kehidupan. Terima kasih dan terima kasih. Darimu kami belajar sakit dan kecewa, jatuh dan terluka, hanya untuk bangkit kembali demi mendapatkan kesucian dan kemenangan yang abadi.
Diseduh dulu tuan kopinya,? Dari kami para peracik kopi kehidupan. Sampai jumpa di masa depan.



Kediri, 06 juni 2018

Terselip rindu disujud taraweh kita

Entah, harus seperti apa lagi aku bisa menjauh darimu, kurasa itu hal yang mustahil. Sebab, tidak ada insan yang melalui banyak cerita disetiap langkah seperti kita. Mulai dari baku hantam, saling rindu, diskusi rasa sampai menuai air mata bahagia disetiap perjumpaan. Dan banyak hal lain juga yang membawa kita tetap bisa seperti ini. Ya, paling tidak aku dan kamu masih sanggup untuk bertemu tanpa sekat dan menjalin komunikasi tanpa ada kata benci sedikitpun.
Terima kasih untuk kebahagiaan di 24 bulan yang lalu, terima kasih canda tawamu puluhan ribu detik dikehidupanku dua tahun yang lalu. Aku masih ingat sewaktu kita bersama menyoal semua cita dan cinta didalam atap gubug barokah yang kita tempati. Membahas perihal kitab apa yang akan dikaji dibulan ramadhan, menyoal apa yang akan kita lakukan setelah buka puasa, dan bahkan sahur jam berapa kita nanti? Karena kurasa tidak pernah terlelap kita menjaga orang-orang yang menyayangi bahkan membenci kita sekalipun.
Kau masih ingat kan? saat aku membuatkanmu kopi untuk menemani malam yang suntuk waktu itu, saat semua anak didikmu sudah mulai berkemas untuk mencium rindu dengan hasrat penuh kepada orang tuanya dirumah? Kita yang mengantarkan mereka bukan untuk bersalaman kepada kyai? Kita juga kan yang sudah bersiap sedari fajar menyapa kita dihari itu, Sedari mentari tersenyum hangat bertemu kita? Aku rasa tidak ada yang perlu ditakutkan lagi perihal kita yang sedalam ini memahami rasa. Sepertinya memang biasa dan dianggap lumrah. Tapi orang-orang yang membenci kita tidak pernah paham bagaimana harmoni kehidupan kita waktu itu.
Orang-orang bahkan tidak tahu bagaimana kita tetap menghargainya walau kita sudah dihujat sedemikan rupa. Ah, kurasa aku tidak mau membawa kebencian dihadapan pelukan rasa yang kita jalani sekarang. Sampai aku mengingat betul kita yang siap untuk menemani mereka tanpa tidur di dua hari terakhir ramadhan waktu itu. Kita yang membantu mereka mengemas barang-barang, kita yang membuka pintu rindu mereka kepada orang tua mereka terbuka lebar, kita yang memberi jalan. Kau jelas masih ingat, saat tangan kita mencium sosok bapak dan ayah kita, dua sosok yang bersedia mendoakan kita sejak sepertiga malam, juga sosok yang rela terbangun lebih awal demi barokah mengalir kepada kita. Kau masih ingat kan?
Terlalu naif jika aku harus membenci orang-orang yang membenci kita, jika logikanya saja kita lebih bahagia? Apa ada hal tidak wajar yang dialami orang lain seperti yang kita alami? Sepertinya tidak. Karena aku yakin rasa yang sudah kita tanam tidak sekedar rasa perihal bertemu, bertegur sapa dan meneguk kopi bersama, lebih dari itu kita mampu menciptakan sejarah baru dikehidupan yang sudah sangat rusak ini bukan? Ah aku tidak bisa beranjak seketika saat aku taraweh dimasjid yang berbeda sajadah denganmu, aku masih merindumu disetiap benang yang tersentuh tanganku ketika sujud.
Aku masih tetap membayangkan, ada rindu terselip diantara sujud taraweh kita, aku tidak berharap kamu merasakannya juga. sebab, kelak dipenghujung malam entah sepuluh tahun yang akan datang kau akan merasakan hal tulus yang tidak kau dapatkan dari seorang teman sepertiku, karena aku sudah menancapkan dalam doaku untuk kerinduanku kepadamu agar kau selalu ingat bahwa ada hal yang dulu pernah kita raih bersama selain membenci orang-orang yang membenci kita, yakni kita sudah bertekad untuk membuat sejarah baru dan itu sudah terjadi. Maka, tidak ada alasan kau untuk melupakanku disetiap sujud tarawehmu.
Terima kasih, mengajariku membenci seseorang melalui rindu, telah mengajariku melawan seorang yang kita benci melalui tabiat yang baik dan tidak grusah grusuh. Darimu aku belajar banyak perihal sebenci apapun kita terhadap sesuatu, ada hal lain yang harus kau bahagiakan sebab mereka yang tidak membencimu bahkan sudah membahagiakanmu tanpa harus kau suruh, lalu apalagi yang kau persoalkan perihal benci yang menggebu-gebu, ikhlaskan. Suatu saat kita akan bertemu dalam palung rindu dengan orang-orang yang membahagiakan kita dalam kondisi bahagia. Amiin.
Salam santri nusantara



Kediri, 5 juni 2018