Bagaimana seumpama kita tukar pahala dengan uang?

Bagaimana jika kita sebagai manusia berfikir bahwa pahala itu dianalogikan sebagai uang atau derajat? Oke, diskusi kita dimulai dari sini.
Diera globalisasi ini, masyarakat indonesia seringkali mlakukan hal yang tidak masuk akal, mempersulit hal yang wajar dan memperwajar hal yang sulit. Apabila tes SIM dilakukan dua kali tes, yang pertama dikepolisian dengan tes jalan menggunakan motor dan pilihan jalan yang ada, dan yang kedua dilakukan dijalan umum. Dengan anggaran yang sama dan ketentuan apabila gagal maka mengulang di hari selanjutnya. Itu adalah contoh masalah bahwa mempersulit hal wajar.
Logikanya, kenapa tidak langsung tes dijalan? Kenapa harus melalui sistematika dengan tes dikantor polisi terlebih dahulu menggunakan motor bebek? Dan yang paling penting adalah kenapa sistematika harus serumit itu? Kita kembali kekajian awal bahwa Al-qur’an sudah mengajarkan kita idealis sejak awal. Seharusnya didalam firmanNya sudah dijelaskan bahwa tuhan tidak mungkin menguji hambanya tidak sesuai dengan kemampuannya. Berarti, seharusnya pelaku tes SIM atau yang bersangkutan bisa dan sanggup melakukan dua tes tersebut. Dan di firman selanjutnya bahwasanya Tuhan tidak akan merubah nasib hambanya kecuali hambanya merubah nasibnya sendiri. Naskah tekstual ini secara kontekstual manusia secara umumnya akan menganggap bahwa firman ini akan berguna dalam kondisi apapun, namun faktanya?
Sistematika yang diperumit manusianya sendiri sehingga makna dari ayat yang pertama bertolak belakang, ketika Tuhan mempermudah makhluknya dengan petunjuk yang sudah di nash, tapi mengapa manusia yang seharusnya melanjutkan langkah tuhan ini malah mempersulit keadaan? Mungkin bisa dikuatkan dengan ayat kedua bahwa setiap makhluk wajib merubah jalan hidupnya sendiri, namun kenapa ketika tidak bisa merubah kesempatan yang diberikan manusia, solusinya tidak semudah tuhan memberi kesempatan hambanya untuk bertobat berkali-kali?
Mungkin bagi anda yang paham tentang kajian islam maka bisa menjawab semua ini dengan makna eksplisit dari sebuah dalil. Namun mari sejenak kita taruh dogma-dogma istimewa tersebut dan mengedepankan nalar sehingga kita berfikir realistis? Anggap kita ini aliran qodariyah yang mengutamakan dalil dan mengedepankan logika, intinya sama-sama digunakan untuk berfikir?
Itu hanya hal spele mengenai tes SIM yang dikaitkan dengan ayat Al-qur’an, namun bagaimana dengan hal lain terkait itu, seperti halnya politisi indonesia yang kebanyakan muslim, Kementrian agama? Pernah terjerat kasus suap? Pendiri salah satu organisasi masyarakat muslim pernah terlibat kasus penistaan beragama? Musisi-musisi muslim terjerumus didalam dunia perpolitikan yang berujung masalah hukum dipengadilan? Dari hal sesepele itu bisa sedikit kita simpulkan bahwa semakin pintar orang memaknai naskah semesta maka semakin banyak pula yang melakukan pelanggaran didalamnya?
Kita kaitkan lagi dengan pesantren? Pada dasarnya mindset kebanyakan manusia beranggapan bahwa semakin banyak santri yang mondok dipondok pesantren itu maka semakin banyak pula penghasilan yang didapat, berarti terbukti bahwa pondok pesantren tersebut memang berkualitas secara logika, namun tak jarang orang berfikiran semua yang ada dipondok pesantren yang fasilitasnya memadai berarti harus disertai dengan administrasi yang mahal, pada akhirnya kesan orang tua yang akan memondokkan anaknya melihat keadaan yang seperti itu mengakibatkan menurunkan derajat pesantren secara kualitas. Jelas, yang dipikir orang tua semacam itu adalah provit yang didapat pesantren? Mereka tidak pernah berfikir bahwa membiayai tenaga cerdas untuk menjadi fasilitator santri itu mahal, biaya makan yang semakin mahal dan tidak jelas harganya, belum juga fasilitas penunjang yang ada diasrama.
Oke, selesai disana. Yang dipikir pengasuh adalah semakin banyak santri semakin banyak provit, semakin banyak provit maka kebutuhan terpenuhi, semakin kebutuhan terpenuhi maka santri berkualitas, semakin santri berkualitas maka nama pondok pesantren akan terlihat bagus dikalangan semua orang. Betul begitu? Belum memikirkan hal lain semacam tingkat banyaknya santri berbanding lurus dengan tingkat kriminalitas santri, betul demikian? Namun yang dipikir orang tua adalah pondok pesantren yang besar dan santrinya banyak pasti biayanya mahal, dan biaya mahal pasti tidak semua orang masuk kesana, pasti didalam administrasi ada seleksi didalamnya, setelah seleksi pasti yang terpilih yang berkualitas saja. Dari kedua pemikiran tersebut jelas semuanya tidak mungkin sinkron hanya karena sudut pandang berbeda dan urusan dunia yang menyangkut keuangan.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa adanya sismbiosis mutualisme itu membuat semua menjadi mudah. Contoh, ada pesantren besar dan biaya masuknya mahal karena ditunjang fasilitas, kemudian orang tua berfikir ‘anak saya nanti saya pondokkan disana, nanti masalah uang bisa saya carikan, toh seumpama anak saya nanti sukses rezeki itu bakal dikembalikan tuhan melalui anak saya’. Sampai pada akhirnya antara kedua belah pihak berani berusaha, berani rugi dan berani berhasil dengan perjuangan yang sama-sama dihargai. Namun faktanya?
Kita kembali ke pembahasan awal bahwa Al-qur’an mengajari kita idealis sejak awal, mari kita pikir baik-baik. Masalah dari kedua belah pihak hanya satu yakni uang dan mereka berdua tidak pernah memperhitungkan pahala yang nominalnya sangat jauh lebih dari uang. Kita kembangkan lagi, sampai pada akhirnya gara-gara perkara uang orang banyak yang pesimis, tidak ikhlas, mudah iri, dan gampang menuduh, serta menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Wal hasil, terjadi korupsi, banyak yang melakukan nepotisme dan kolusi menyebar disetiap pemikiran masayarakat awam pada umumnya.
Seumpama kita menggunakan nalar 99 sifat Allah salah satunya  yakni sabar, percaya, baik, dan juga amanah. Pasti semua berjalan dengan baik. Semisal, pengasuh memberikan edaran pembayaran pondok pesantren dengan nominal yang sudah rinci, memberi iming-iming kualitas pondok yang ditunjang dengan tenaga pengajar profesional. Kemudian orang tua mau berusaha demi masa depan anaknya dengan usaha yang ada, ikhlas untuk memondokkan anaknya. atau istilah lainnya menginvestasikan masa depan. Seperti acuan pada muamalah adalah sikap saling antarodhin sehingga mewujudkan etos kerja yang saling percaya dan berujung maksimal dengan kepercayaan yang ada.

Oke kita konklusikan bersama bahwa karena uang orang jadi pesimis, karena pesimis orang tidak percaya pahala, karena tidak percaya pahala orang jadi kufur, karena kufur orang jadi jarang membaca al-qur’an, karena jarang membaca al-qur’an orang jadi sering ngawur, karena ngawur orang jadi salah kaprah, karena salah kaprah orang jarang berfikir logis, karena jarang berfikir logis pada kematiannya mereka tidak bisa tenang, berarti gara-gara uang orang tidak bisa tenang. Oleh sebab itu diskusi kita kali ini dinamai Bagaimana jika pahala kita tukar dengan uang? Supaya orang tahu bahwa uang bukan jalan utama meraih ridho ilahi. Akhirulkalam. Salam santri nusantara

Sajak kuli Santri

Hari ini aku mulai lelah, menata naskah demi naskah yang pada akhirnya terabaikan. Membuat mimpi yang sepersekian detik aku pertimbangkan nyatanya juga dicampakkan. Seakan aku ingin melepas kopyah dan sarungku ini. Bukan berarti aku tidak ingin mendapat predikat santri lagi, namun satu hal yang pelu kau ingat. Aku bukan kuli yang seenaknya kau suruh bekerja rodi. Kau tahu kan aku ini santrimu? Mengaji dan mengabdi demi mendapat barokahmu?
Sudah memasuki bulan keempat, dan kau seakan masih membuat kesepakatan tersembunyi dengan orang-orang lain untuk membuat sistem baru, hey.. kau tak ingat bukan? Ayahmu dulu kuatnya seperti apa? Wibawanya seperti apa? Tapi kenapa sekarang berubah semenjak kekuasaan ada ditanganmu sepenuhnya?
Semua orang pernah melihat senja, semua orang pernah merasakan hujan, bahkan terkadang sebagian orangpun kehujanan disaat senja. Tapi apakah kau tahu? Mereka tidak pernah mengeluh, mereka malah menganggapnya itu syahdu. Indah disore hari kehujanan rahmat dan mata melihat senja dengan gamblang sampai pada akhirnya suara tuhan memanggil dari kejauhan.
Kau berkilah seakan raja, menyebar perintah kesan kesini. Membuat titah untuk mengabdi. Sebenarnya itu kepentinganmu bukan? Berapa orang yang kau sakiti? Berapa orang yang kau lucuti? Berapa orang yang mengharap sudi tapi malah kau caci maki?
Ah aku lupa, perihal bahagia kau tak pernah mendapatkannya. Kau lupa pelajaran tentang kehujanan disaat senja. Indah bukan? Syahdu bukan? Tapi yang ada dibenakmu hanya uang uang dan uang. Sudah , itu saja. Sekarang ketika semua kocar kacir, santrimu pergi tanpa izin, mereka tiba-tiba menyimpan dendam yang tiada akhir. Lalu, apa yang mau kau perbuat lagi?
Ah aku juga lupa, bahwa kau sudah melupakan tawa saat mudamu, saat kau tahu bahwa jemuran adalah singgahan yang cocok untuk malam minggu, menikmati pakaian rusuh yang jatuh diantara dinding-dindinganya itu bagian daripada mengenang masa lalu barokah. Tapi sekarang? Faktanya kau sudah membuat kebahagiaan baru, lelahmu dulu kau anggap sebagai masa lalu.
Tentang ro’an takror dan ngaji kitab kuning, mungkin masih kau ingat. Betul, kau hanya ingat kejadiannya saja, kau tidak pernah ingat perjuangan santri-santri jaman dahulu sampai sekarang melakukannya. Usah kuulang lagi bahwa kau yang punya perintah, kehendakmu adalah kewajibanku, bukan hanya aku tapi semua yang menganggapmu guru.
Sudah itu saja celotehku didini hari ini, setidaknya aku tahu pada bulan keempat ini kau dan aku belum menjadi kita. Sehingga barokahNya masih belum bersandar disudut dinding hati kita dan mereka yang menganggapmu ada. Berdoalah, semoga kejayaan hadir disetiap detik tingkahmu. Berdoalah, semoga kebahagiaan hadir ditiap langkahmu sehingga kau tahu bahwa membuat keringat itu tak semudah membalik baju yang setengah basah. Salam lestari

(jombang, 12 april 2017)

Hipokrit politisi berkedok kyai

Mereka datang dengan segenggam janji, membuat bukti diatas jalinan kasih kitab suci, belajar, mengadi, sampai pada akhirnya berlabel kyai. Itu dulu saat cerita burung masih lahir dari sebuah telur dan rahim yang pintar masalah tirakat.
Cerita sekarang, hanya menggantung diatas bayangan. Para penerusmu yang pintar bersilat lidah. Menebar janji-janji buta beralibi barokah, seadil itukah hidup kami, semurah itukah balasan yang kami dapat. Perihal setia, kami memang bukan tempatnya, tapi kami disini belajar bertanggung jawab dengan peraturan yang kau buat.
Betul, kami hanya santri, kau suruh mengaji kami berangkat, kau suruh sholat kami berangkat, bahkan kau suruh diam dan santun terhadapmu kami pasti terikat. Namun satu hal yang tidak pernah kamu ingat.! Dahulu kala, yang membuatmu seperti ini siapa, lalu kenapa sekarang kau rubah semua?
Bangunan tua yang menjadi simbol kini roboh, mulut congkakmu hanya berkata “ini demi kemajuan pondok”. Gapura suci nan lusuh yang biasanya kami ceritakan kepada orang-orang rumah, kini berubah total menjadi monumen yang bertuliskan undang-undang fitnah.
Sebenarnya kau ini siapa? Lantas kenapa kau masih berkelit perihal fakta. Sudahlah, kau hanya ingin seperti ayahmu dahulu namun belajarmu masih kalah serius dengan kami, kami dididik tawadhu’ sedangkan kamu dididik melawan, kami dididik patuh sedangkan kamu dididik menantang. Urusan dunia saja kau bangga-banggakan, ayahmu dahulu tidak seperti itu menurut sejarah. Ayahmu dulu tidak seperti itu menurut masyarakat disana?
Menyuarakan kebijakan melalui ayat, menjanjikan kepastian melalui sabda, kau bukan penyair, ataupun pengarang kitab. Ingat ! cucu garuda tidak mungkin sama dengan sang garuda. Kecuali jika kau paham apa realita, jika kau paham peraturan menjadi santri itu seperti apa?
Ah, usah kita bercerita tentang naskah sedih ini, cerita ini bukan lagu sakit hati atau bahkan orasi publik untuk demo demi harga diri. Kami hanya memberikan fakta bahwa pelangi yang muncul itu karena hujan dan mendung yang datang. Sedangkan kau, mencoba menjadi pelangi tanpa harus menunggu mendung dan hujan turun. Itu tidak akan terjadi sebelum kau paham bahwa hujan adalah cerita tentang dimana kita bisa tersenyum ketika cobaan itu muncul. Salam lestari !
(jombang 10 april 2017)

Suara-suara lantang diatas kubah

Sepertinya, kalian sudah tahu perihal apa yang selalu mengganjal dihatiku. Yaaah, tentang gesekan sandal karet yang melangkahkan kakinya menuju tempat beribadah. Kelihatannya sekarang menjadi asing ketika testimoni-testimoni liar tidak bertanggungjawab mengonani otak kita. Seakan hal tersebut tidak lagi menjadi budaya.
Apa kalian tidak pernah tahu, tangis orang yang sudah dikebumikan itu masih lantang terdengar sampai kebumi, sosok yang dulu dijunjung tinggi sekarang tidak pernah dipanjat dalam sebuah perenungan. Biadab !!! itu yang harusnya aku luapkan kepada kalian yang hanya bisa menikmati tawa sementara sekian orang lainnya berjuang demi hal yang diduga bermanfaat.
Bisa-bisanya kalian datang ketika orasi lantang menyuarakan uang dan masa depan, bisa-bisanya kalian Cuma datang ketika ada panggilan undangan yang ada jadwal makan. Lalu, apa bedanya kalian dengan orang tak berakal? Lalu apa bedanya kalian dengan binatang? Terpanggil hanya diwaktu makan dan tertidur ketika terpuaskan?
Sahabat, kita itu ibarat pondasi, yang bukan dirumah kita berpijak. Tapi dikahyangan nirvana kelak kita bersandar. Seumpama kamu hanya mendengar dan tidak mau berangkat ketika mendengar suara itu, lalu siapa yang bakal mendengarmu ketika suara lain mengumandangkanmu dikebumikan? Usah kau tanya masalah gaji dari yang esa, semua sudah tertata rapi dalam buku suci tulisan tanganNya.
Tugas kita bersama cuma satu, mendengar suara-suara lantang diatas kubah, mendendangkan syair-syair cinta semesta yang menuju kepadaNya dan juga mendustakan semua makhluk yang menyekutukannya.
Kelak, pada suatu hari yang sudah ditulis didalam kitabNya, kita akan bertemu dalam ruang abadi nan suci memeluk maghligai dan menjadi manusia bersih sepanjang hayat. Kalau kau mampu memeluk dan melakukannya mulai sekarang, tabir kubah itu masih sangat luas untuk kau tangisi dengan firman-firman. Suara-suara tu akan terulang berkali-kali untuk kau datangai dengan senang. Lakukan sekarang atau kau akan dilalaikan!

(jombang 8 april 2017)

MENYOAL SANTRI, DULU DAN KINI

Dikalangan masyarakat heterogen seperti indonesia ini, siapa yang tidak akan bahagia mendengar kata santri. Karena mungkin doktrin yang sudah menancap pada telinga dan pemikiran masyarakat indonesia jelas, bahwa santri adalah manusia yang pada hakikatnya dipilih sebagai makhluk yang mampu mengaplikasikan ilmunya melalui agama dan santun dalam perilakunya untuk mengaplikasikan keilmuan duniawinya dan mampu mengarahkan masyarakat kepada yang lebih baik tentunya.
Selain kata santri, yang membuat santri semakin erat dengan sebuah kebaikan adalah sosok. Siapa beliau? Adalah kyai yang menjadikan pribadi santri menjadi sedemikian rupa. Mengapa kyai selalu di iya-iyakan terkait masalah santri dan menjadi tolak ukur disetiap langkah gerak santri? Fakta mengenai kyai bmungkin bisa digambarkan sedikit.
Yang pertama jelas, kyai juga menjadi salah satu sosok yang lahir serta ikut serta memerdekaan kemerdekaan indonesia secara keagamaan. kedua, kyai juga seseorang yang diakui secara mufakat bahwa dia memang memiliki kemampuan lebih dalam bidang agama terutama. Dan keilmuan yang sangat adil dalam hal yang lainnya. Dan fakta yang paling nyata adalah kyai mampu berbaur dengan siapapun mulai dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Sebab kembali kepada fakta yang pertama bahwa dia adalah sosok yang pandai dalam segi keagamaan.
Mengapa demikian? Karena didalam agama muatan-muatan umum mulai dari akhlak sampai hukum semua sudah ditata rapi didalam kitab suci yakni Al-qur’anul karim. Namun, itu hanya gambaran dulu ketika semua pengertian yang tertera diatas masih menjadi doktrin masyarakat yang mengakui bahwa adanya santri dan kyai adalah sebuah komposisi sempurna untuk membangun kepribadian seseorang melalui jalan agama dan pesantren.
Namun, faktanya sekarang sudah berbeda, masalahnya santri sudah terkontaminasi budaya-budaya yang sangat jauh dari sebuah barokah, dan solusinya masih belum diketemukan.
Tertanggal abad ke 21, banyak sekali formula reformasi yang dilakukan negara indonesia mulai dari pendidikan, ekonomi, amandemen hukum, dan lain sebagainya. Itu semua berfungsi guna menyelaraskan sebuah kepentingan publik dengan alibi lebih baik daripada sebelumnya. Contoh saja, dalam bidang keagamaan sudah banyak muballigh-muballigh dan orang-orang yang hafal al-qur’an menjadi pesohor disetiap sudut dipenjuru indonesia dengan keilmuan yang mereka punya. Bidang pendidikan juga semisal, perubahan metode mulai dari metode 90-an sampai KTSP, KBK, sampai pada K13 yang menjadi trendsetter pendidikan era kini. Ekonomi juga semisal, dahulu kala permasalahan bank di indonesia masih belum sekompleks sekarang, adanya saham gelap, pencucian uang, BPA/BPK, dan lain sebagainya serta sistematika keuangan lain yang menjadi rumit. Sampai pada ahirnya masyarakat menyimpulkan untuk menggunakan ekonomi kreatif demi kemaslahatan ekonomi mereka masing-masing, mulai dari masalah pertanian, jual beli, peternakan,dan masih banyak lagi.
Kita kembali pada fokus santri, banyaknya perkembangan yang masuk didalam negeri ini membuat mereka dilema dan bingung mencari arah dalam pembelajaran kesantrian. Mulai dari media, lingkungan sampai pada metode mencerdaskan mereka. Faktanya banyak sekali media yang tidak berperan positif dikalangan mereka, mulai dari sosial media seperti facebook, twitter, instagram, path, line, watsap dan masih banyak lagi. Membuat santri semakin dimanjakan dengan fasilitas yang beralibi ‘ini lebh memudahkan mereka’. Padahal tidak sama skali.
Kemalasan semakin menjadi-jadi. Memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan masing-masing. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa budaya santri yang dahulu tidak dibudayakan lagi sampai sekarang? Seperti, andap ashor kepada kyai, rajin mengaji dengan khas kitab kuningnya, dan juga berperangai indah dalam berpakaian yang berbeda daripada pakaian masyarakat pada biasanya. Sehingga sudut pandang kita bisa saja berubah menjadi, apakah memang kyai sekarang tidak mampu untuk menirakati santrinya? Atau orang tuanya yang terlalu takut mengajari anak-anaknya mandiri?
Hal ini dijelaskan juga dalam buku yang ditulis oleh sigmund freud (pakar psikoanalisis), didalam bukunya menjelaskan bahwa manusia berkembang itu sesuai dengan alam bawah sadarnya, sebelumnya keterangan menjelaskan bahwa manusia lahir terdiri dari tiga ruang yakni sadar, prasadar dan alam bawah sadar, sehingga sigmun freud menjelaskan dalam sebuah penelitian yang masih kontroversi sampai sekarang bahwa manusia itu memiliki fantasi dan analisis mimpi tersendiri.
Fokus dan ketersambungan dengan santri adalah, setiap santri mempunyai analisis dan fantasi mimpi tersendiri, yang seharusnya sudah didoktrin sejak awal mereka menjadi santri dan mengenyam pendidikan di pesantren. ini yang harusnya dijadikan tolak ukur bahwa santri seharusnya tidak kehilangan jatidiri sebagai seorang pelajar dan terpelajar. Santri juga harusnya lebih pandai daripada masyarakat yang tidak menjadi santri dan mengenyam pendidikan pesantren.
Berarti jatidiri santri saat ini sudah hilang? Atau sengaja disembunyikan demi kepentingan pendidikan yang tidak masuk akal? Padahal didalam kaidah islam juga dijelaskan ‘Al-muhafadhotu ‘ala qodimissholih wal ahdu biljadidil ashlah’. Yang berarti melestarikan tradisi, mengembangkan inovasi. Akan tetapi kenapa semboyan itu sekarang menjadi menghilangkan tradisi dan menyalahgunakan inovasi? What the problems in education indonesian countries?
Kita bedakan dengan budaya santri jaman dahulu, setiap kali jalan selalu menunduk ketika melihat pengasuh atau kyai yang sedang ada diantara mereka, sangat bisa mempelajari nahwu shorof, paham dalam memaknai kitab, dan asing dengan bersentuhan dengan lawan jenis. Serta banyak lagi hal lain yang dahulu melekat dikehidupan santri. Terlebih dalam bidang agama dan sopan santun.
Dari sini diskusi ini bisa kita simpulkan perubahan terjadi karena petinggi-petinggi tidak pernah konsisten (read:istiqomah) dalam menjalankan sebuah amanah yang sudah diterapkan sebelumnya, terlalu mengkontaminasi kehidupan yang baru dan menghapuskan setiap pelajaran lama yang sudah melekat sebelumnya. Wallahu a’lam kita sendiri yang mampu introspeksi dan meruahnya. Salam santri nusantra.

Al-qur’an sudah mengajarkan idealis dari awal sejak kita lahir

Menyoal kitab suci, banyak sekali kodifikasi didalamnya. Kodifikasi yang dimaksudkan untuk pembenaran suatu dasar hukum yang berkembang disemua pihak, namun bagaimana bila naskah yang terstruktur secara kritis transformatif tersebut sudah mengajarkan kita, bukan mengajarkan, maaf lebih tepatnya hanya memberi tahu kita dan mengajak berfikir tentang idealismenya terhadap pandangan manusia yang berbeda pandangan.
Sama halnya dengan kitab suci umat islam atau yang kita tekuni selama ini, kita kaji setiap hari, kita ulang dalam membaca bahkan ada yang sampai paham serta mengetahui maksud didalamnya. Namun mereka yang paham kadang juga menyalah gunakan, sampai pada akhirnya kita sebagai makhluk yang belum tentu tahu dan paham maksud dari Al-qur’an tersebut mulai mengira dan berandai-andai dengan pertanyaan nalar yang wajar dengan kemampuan berfikir manusia secara umum.
Misal, dulu dikatakan bahwa kitab suci yang sampai akhir hayat adalah Al-qur’an, kitab suci yang menjadi dasar hukum umat hidup didunia dan selamat didunia sampai akhirat. Namun adakah kemungkinan seumpama Al-qur’an itu kemudian ada pembaruan ketika semua penghafal Al-qur’an (read:tahfidz) sudah meninggal? Apakah tidak ada kemungkinan akan ada keyakinan baru jika keadaannya sudah seperti itu? Pertanyaan seperti ini memang akan bisa dilawan didalam Al-qur’an, namun coba kita pikir secara logika, bagaimana penyadaran umat jika ada yang berfikir sedemikian?
Kemudian contoh yang lain, Al-qur’an memberikan keterangan tentang hal sabar yang terdapat di surat Az-zumar, Al-baqoroh, Ali Imron, Asy-syuara’, dan surat Muhammad, kita kaji QS. Az-zumar ayat 10 yang berbunyi :
@è% ÏŠ$t7Ïè»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# öNä3­/u 4 tûïÏ%©#Ï9 (#qãZ|¡ômr& Îû ÍnÉ»yd $u÷R9$# ×puZ|¡ym 3 ÞÚör&ur «!$# îpyèźur 3 $yJ¯RÎ) ®ûuqムtbrçŽÉ9»¢Á9$# Nèdtô_r& ÎŽötóÎ/ 5>$|¡Ïm ÇÊÉÈ  
10. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Disini sudah jelas digambarkan bahwa siapapun yang sabar maka akan didekatkan dengan keberuntungan kepada Allah, barang siapa yang bersabar akan selalu bersama syafaat Allah. Namun didalam hal lain, disurat-surat Al-qur’an yang lain juga dijelaskan pengertian bahwa tidak ada yang bisa merubah seorang kaum apabila tidak merubahnya sendiri.
Ayat ini dijelaskan didalam QS Al-anfal ayat 53 yang berbunyi :
y7Ï9ºsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/   žcr&ur ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÎÌÈ  
53. (siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[621] [1], dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Sekarang mari kita pikir logika, itu cuma satu ayat atau satu redaksi yang terdapat dalam kitab suci Al-qur’an. Bagaimana jika kita analogikan dengan keadaan yang lain. Semisal, tentang sebuah usaha yang katanya tuhan tidak akan menguji hambanya dengan cobaan yang melebihi batas kemampuannya. Namun sisi lain dijelskan dalam realita bahwa banyak sekali fenomena yang sedang terjadi dinegara bagian muslim yang hanya bersabar dalam cobaan dan teror, dengan landasan bahwa akan ada pertolongan tuhan dalam bentuk lain, namun pada akhirnya mereka tetap saja kesusahan sampai detik ini. Ini sudah sedikit membuktikan bahwa manusia yang diuji memnag tidak kuat.
Kita ambil kasus lain, Tuhan menyuruh hambanya untuk berdiam diri saja dan berdzikir kepada tuhanNya, namun sisi lain menjelaskan juga bahwa, jangan kamu diam saja, kamu berhak melawan jika ada yang tidak sopan kepadamu, atau lain sebagainya.
Pada akhirnya, kajian ini hanya bersifat logika yang bisa kita nalar bersama untuk mengetahui isi Al-qur’an secara gamblang, mengajak kita membuka kita untuk belajar membaca Al-qur’an sampai pada asbabul wurudnya dturunkan ayat tersebut. Begitu indah bukan muslim dan agama islam yang sudah digariskan oleh Tuhan semesta alam Allah SWT. (islam berbagi)


[1] [621] Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.