Perihal Melupakan (kewajiban) mu

Kali ini aku benar-benar kabur, menyusuri langkah dengan keramaian sebelumnya, mencoba mengukir baris demi baris artikel yang sebelumnya pernah diukir oleh pejuang-pejuang yang sejatinya berjuang, dan kini hampir aku lupakan.
Jujur, aku hanya lelaki biasa. Yang hanya mampu menjawab ‘nggeh’ ketika titah darimu sudah membabi buta. Yang dimana bagian dari monumen bersejarah ini cuma sisi kosong tanpa wibawa sebenarnya. Sering kali kau ucap sumpah dengan ancaman yang menjadikan kami semakin berani untuk berlari.
Jujur, aku hanya lelaki biasa dimana harap tentang barokah masih ingin kami raih, perihal santun masih ingin kami capai. Meskipun setiap harinya kau berlibur dan kau menginturksikan kepda kami untuk berbaur. Tidak sulit memang, namun sesungguhnya pengertian lah yang kami harapkan.
Jujur, aku hanya lelaki biasa. Yang dikata orang penuh dengan pengalaman diluar sana dan bisa menguasai seluruh media, namun faktanya ketika kedatanganmu dalam sebuah surat SK, malah kamu yang sepertinya mampu disemua media dan bergerilya dibanyak gaya. Padahal celoteh orang diluar sana kesibukanmu hanya perihal uang dan dunia yang lainnya. Bukan tentang kami dan keberlangsungan hidup umat disekelilingmu.
Lalu, apa yang harusnya dilakukan kami, yang dimana ketika evaluasi hanya kesalahan yang kami raih, solusi-solusi semu yang hanya sebagai pengindah pembicaraan kemarin, dan juga perihal omongan yang hanya kosong ketika kata-kata sebelum kata tapi selalu menjadi awal pembicaraan. Padahal sebenarnya kami tahu yang kamu inginkan hanya menuruti egoismu saja sampai kami lupa tentang hal wajib yang harus kami lakukan sebelumnya.
Perlu kamu ketahui, pelangi datang itu selalu ketika hujan selesai runtuh dan jatuh, namun kenapa kamu masih menyoalkan masalah yang harusnya kamu tahu juga pasti ada hikmah dibalik semua itu? Ini aku yang bersalah atau kamu yang pemilik benar itu? Apa tidak ada jalan selain solusi? Cobalah dipikirkan lagi, sebenarnya apa yang da dibenakmu?
Kamu juga tahu kan, hanya tentang ketikan kata-kata kamu brani mencela, sedangkan medan perang sebenarnya adalah kita? Bukan layar handphome ukuran 5 inchi yang selalu kamu bawa-bawa, yang ketika rapat selalu kamu pakai untuk aktifitas apatis dan tidak menghiraukan sekitar. Keluhan kami bawa, masalah kami jaga, agar ketika berbicara tidak salah. Namun fakta berkehendak lain, kamu lebih memilih menganggur dan melempar pendapat kepada orang lain.
Padahal aku dan kami tidak perlu menunggu orang lain untuk menghadapi maslah, kami dan aku hanya menunggu kamu, bahkan berlama-lama denganmu pun kami rela serta berani asal kamu berikan solusi pasti demi sebuah kebutuhan umat yang hakiki? Bukankah begitu harusnya menjadi sosok kyai yang suci? Kontaminasi, intervensi yang harusnya mampu kamu tepis dengan lafadz-lafadz tuhan, bukan malah koalisi? Aku harap kamu paham apa yang kami maksud.
Oh iya, aku hampir lupa, kemarin mereka sempat berkata kepadaku, mungkin bisa kau jadikan ajaran untuk bahan berdiskusi, katany mereka kemarin bilang kepadaku bahwa kata-kata sebelum kata tapi adalah omong kosong. Itu saja sudah terimakasih. Salam santri nusantara.
Jombang, 31 juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar